Minggu, 14 September 2014



SEBUAH ELEGI TENTANG KITA
*) buat Dyah, istriku.  -cinta ini untukmu-

: kemarilah Nimas, usung segala muakmu kepadaku
dan, ikhlaskanlah keningmu aku kecup dengan seribu maafku

Lihatlah imaji itu berlarian di taman bunga dengan selendang berwarna lembayung
susah payah mengejar kupu-kupu kerdil
hingga mentari berkhianat pada hari tak jua dia menangkapnya
walau secuil sayap rapuh

Lihatlah aku Nimas
begitu gontai memaknai elegi senja
konon, puncak dari segala sepi
yang menawarkan tarian-tarian eksotis
penuh dengan hiruk-pikuk asa sang waktu
tumpah berserakan di jagad cakrawala
-dan aku tetap buta-

Cukupkanlah air matamu menghunus tabir sunyiku
pada kaca yang membiaskan raut pecah
berkeping kocar-kacir seperti puing petasan mainan para bau kencur
tak pernah lenggang di setiap sudut jalanan
sehabis imsyak, sehabis subuh
menjadi sampah tak tersentuh angin

Akulah dosa itu, yang dulu pernah aku sabdakan kepadamu
dan aku menikmatinya sendiri dalam kesunyian
bersama detak nafas kebimbangan
belajar menghakimi diri tentang sebuah takdir
menjilma prasasti di telapak tanganku
serupa garis-garis seperti mozaik elegi nasib
-engkaupun sangat paham hal itu-

: Kemarilah Nimas, mari kita lantunkan simfoni kematian
kelak akan menjadi kitab suci kita
saat kita terjerat rantai waktu bernama egois

Pada setapak jalan yang kita lalui bersama
onak liar tiada bosan menyayat setiap inci kulit kita
darah enggan memerah dan membekas
-kita kebal-
onak itu hanyalah perulangan-perulangan episode pada narasi pengantar lelap
sekejap pun jua muksa dan terlupa

Akulah ruh dan jasad lunglai yang engkau miliki
meski bugil dan dungu
tiada kesempurnaan ada padaku
hanya cinta yang telah aku sempurnakan lewat bahasa jiwa
namun ikhlasku tanpa henti bersua kepadamu
agar rasamu tak lelah memaki asaku
untuk sebuah dosa yang telah mengguratkan tintanya tepat di pusat sanubarimu

: inilah cinta yang seutuhnya engkau miliki
pada hitam dosaku




18 Juli 2014
(kidul argo gamping)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar