Bukankah kita berasal dari
tanah gersang ?
Oleh : Riniintama
Kita
berkelakar dalam kelebat bayang yang tak tampak,
lalu
terkecoh pada duka lara dan amarah yang rumit
Sedang
pikiran menghantui ruhruh dari bumi yang mati
Kita buka
lembaranlembaran kertas tahun lalu
Segala
paradigma melelehkan helaihelai makna
Melupa mata
air kearifan dan hakikat rasa
Kemana
perginya angin ?
Lalu di tepi
rasamu yang sunyi
Kita eja
baitbait puisi yang memanusiakan manusia
merenungi
barisbaris doa dengan energi tanpa batas
dan
memimpikan oase di tengah panas membakar
Ketidakseimbangan
itu berakhir bumerang
Karena
jiwajiwa di rundung cemas yang usang
Atas
cintacinta yang akan pergi menghilang
Bukankah
kita bagian dari tanah gersang ?
Tetapi
sesaat kemudian memusuhi maut yang siap menghadang
Februari
2011
Dalam buku
“Gemulai Tarian Naz”
PADA GARIS BATAS TITIAN
Oleh : mahyutsan
Senja telah
silam. Kenangan itu terurai kembali dan aku mematut sedih.
Segaris masa
lalu membawa hati pada sebuah penghujung. Kebersamaan itu.
Cinta kita
yang bersemayam dalam raga, terantuk pada keinginan tak seorang pun mau.
Perpisahan.
Sayonara, katamu seraya membuang tatap dan aku terserang getir yang hebat.
Tak ingin
ingin kudengar kata-kata itu. Akan tetapi, pada saat yang sama kau tak hendak
meralat
ucap. Aku menunggu harap-harap cemas waktu akan menulikan dengarku.
Betapa kini
aku telah berdiri pada garis batas titian telah tampak ujungnya.
Ah,
kenangan. Akan kubawa kemana sekelumit kisah yang membuatku mati suri? Sungguh
tak hendak
kubawa kenangan itu dalam setia ayun langkahku. Biarlah menjauh mengikuti
jejakmu
dalam samar cahaya. Tetapi itu tidak pernah terjadi. Seberapa ingin kuenyahkan
selalu
saja ia bangkit kembali dalam rupa membuat takut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar