Manusia
itu Manusiawi....
|
Ditulis
Oleh Sujiwo Tejo
|
Selasa, 12
Juni 2012
|
Manusiawi itu teriak-teriak antirokok tetapi maniak terhadap junk food
yang sejatinya sama membunuhnya dengan rokok.
Manusiawi itu selalu sibuk berpekik anti-Amrik tetapi rela antre sampai ke jalanan berjam-jam sejak subuh demi mendapat visa ke Paman Sam. Manusiawi itu memuja-muja kebersihan government Singapura dari korupsi walau tahu dari banyak desas-desus bahwa negeri itu adalah lumbung yang gemuk bagi duit para koruptor dari Indonesia. Pendeknya, manusiawi sering dikaitkan dengan seluruh yang bertolak belakang pada diri kita.
Banyak pasangan yang berikrar saling setia, anti diduakan. Tetapi manakala
salah satu pasangan itu benar-benar selingkuh malah semakin dicintai oleh
pasangannya. Mungkin daya saing seseorang justru bangkit dan adrenalinnya
naik ketika memergoki pasangannya nyeleweng.
Jelas-jelas kita pernah dijajah oleh Belanda. Namun tak sedikit sejawat kita
di Tanah Air yang menggebu-gebu pegang Belanda pada Piala Eropa saat ini.
Tak usah sewot. Tak usah terheran-heran. Karena yang seperti itulah yang malah manusiawi pada teman atau pacar kita. Di dalam wayang, Prabu Kresna sering kangen kepada Bima bukan karena Bima selalu menyanjung-nyanjung dan melayaninya. Kalau sudah lama tak bertemu, Raja Dwarawati itu selalu nggak nahan datang ke Amarta, tempat Bima, hanya karena rindu ledekan dan cemooh Bima kepadanya. Apakah manusiawi berarti tak konsisten? Mungkin tak sepenuhnya begitu. Setiap hari dijunjung dan diluhurkan, tak heran kalau Bima yang ceplas-ceplos meledek Kresna justru mendapat tempat khusus di hati titisan Wisnu itu. Cocok dan konsisten dengan hukum pemasaran bahwa yang unik yang akan dikenang. Konsisten pula dengan kenyataan bahwa setiap orang akan mengalami titik jenuh kalau hidupnya saban hari begitu-begitu saja. Maka banyak pasangan yang lebih intim setelah bertengkar termasuk cek-cok akibat penyelewengan. Sebenci-benci kita terhadap Amrik, harus diakui karya-karya orang Amrik termasuk film-filmnya memang bagus. Tak heran jika masih banyak orang pengin melancong ke tempat-tempat yang kerap disaksikannya dalam layar lebar Hollywood. Ini pun masih klop dengan ajaran untuk melihat sisi baik di antara sisi buruk segala hal. Apa salahnya tertarik pada sisi baik Amerika. Apa salahnya mencintai kaus oranye pada Piala Eropa, karena kalau tidak ada Belanda mungkin tak ada jalan raya Anyer-Panarukan, mungkin tak ada rel-rel kereta api. Apa pula salahnya tertarik pada sisi kebersihan dan kerapian Singapura walau mungkin kita sudah tahu borok-boroknya pada sisi lain. Akan halnya junk food, para maniak junk food berpendapat bahwa seburuk-buruknya junk food hanya merugikan diri sendiri. Rokok, asapnya, merugikan orang-orang di sekitar. Itulah yang dapat saya simpulkan dari Hari Anti Tembakau akhir bulan lalu. Tapi apa manusiawi pula jika perokok balik bertanya, junk food memang tak menimbulkan asap, tapi baunya dan tampilan orang-orang makan di dalam etalase kaca membuat orang-orang lain ngiler pengin mampir dan menyantapnya. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar