Rabu, 07 November 2012

Puisi Tjahjono Widarmanto

DI RAHIM IBU
*) buat bakal anakku

1
akar itu telah menemukan airnya
roh-roh menari setelah ditiup
menjadi sulur-sulur menjulur ke serat ari-ari
telah tumbuh warna-warna dari bau kesetiaan
mengalirkan putih ketuban

waktu mengupas wujud itu
laut akan meminjamkan garamnya
matahari menjulurkan mahkota
: ibu, aku tak sabar
ingin menuliskan huruf-hurufku!
2
ari-ari itu tak berhenti pda serat
namun menjadi sebutir telur
kelak akan menyingkap daging
diberi nama --- manusia

: bersama ketuban, biarkan aku muncrat
tumbuh menjadi para kesatria
akan kucatat legenda baru, dunia para penakluk
biarkan para rahib mencatatnya, dinasti baru, legenda baru.
akan kulibas kematian, kusamak menjadi kaus kaki kecilku

dari tempatku lunak dan hangat ini telah kurangkai api jadi bunga-bunga
bau harum mengalir dari tubuhku memanggil segenap kupu-kupu
sebab sejak dari rahim ibu telah kupintal sebuah sejarah
/ngawi/



KIDUNG BAYI
belajarlah dari tangis bayi
saat mulutnya mengulum sepi
dan nafasnya menghardik matahari
: berikan takdirmu!

mata bayi yang hijau
tempat segala roh ditiupkan warna
dari pelupuk bola mata itu engkau akan melihat
dunia yang hiruk pikuk ini hanyalah sepotong
wajah keriput yang diremas waktu.

---- warnamu tak bisa kau pilih sendiri, nak
walau telah ku usap ubun-ubunmu
juga telah kutiup seribu jampi dan mantra di lubang telingamu.
berjalanlah sendiri karena ada yang diam-diam memahatkan
rajah di kedua telapak tangan dan kakimu.
kuusap punggungmu
dan aku hanya sanggup membekalimu api
yang kupungut dari paruh-paruh ababil
juga separuh tubuh yang kupinjamkan
agar kau kelak perkasa melukai setiap rasa takut.
rajah di kedua telapak tangan-kakimu
takkan pernah bisa menaklukanmu
karena kau nafas api.
perjalanan betapa jauhnya
tak akan pernah sanggup menjadikan lelah
karena angin telah berumah di dadamu.
jangan bermimpi tentang surga, nak
kalau engkau tak merebutnya
dalam setiap ladang pertempuran
yang harus engkau taklukkan.
tanganmu pasti kelak perkasa,
meneteskan darah para lelaki
atau menampung tangis para perawan.

darah bapamu ini juga merah
namun tak segarang warnamu
tiupkan lamunan tinggi-tinggi
menembus waktu, membuka ruang
hingga matahari ngeri sendiri
menatap cahaya ubun-ubunmu.

garangnya warnamu
menyediakan cawan tempat engkau
menampung segenap pertanyaan dan jawaban
warna yang akan meludahi rajah di kedua telapak tangan-kakimu
mulailah menyanyi saban pagi atau saat senja dibangkitkan
mulailah melengking-lengking pada siapa saja
jangan pernah engkau pikirkan bahwa segalanya akan tua
carilah segala huruf sajak-sajak para pujangga, kata-kata para penguasa,
serta segenap sabda firman para nabi
: jadikan mantramu ! -----------

/ngawi, menjelang kelahiran/


SUATU SORE
mengenang kembali riwayat itu
sebuah biografi yang pecah:
sepotong laut
ombak riuh yang tak pernah mimpi
serta sayap-sayap camar yang lunglai
mereka teriakkan namamu

barangkali sebuah masa lalu yang kelak
akan menjadi akar sulur-sulur
merambati kalender dan telusuri ramalan-ramalan cuaca

percayalah, tak hanya kecewa dan sedih
yang sering menyapa
atau harapan yang tiba-tiba padam
namun, juga ruangan bercat merah muda serta irama musik pelan
dan kita sendiri yang memilih piala,
menuangkan merahnya anggur, serta berdansa
hingga parak pagi.

sore ini kita akan beranjak memulai perjalanan
menjawab teka-teki sepanjang abad
: mengapa cinta tak dapat diurai
dengan ciuman dan kata-kata?

sore ini pula marilah kita kenang sama-sama bahwa tiap sejarah
selalu penuh jejak sedih maupun gembira
juga tiap kegagapan akan melahirkan harapan-harapan.

barangkali perjalanan panjang ini nanti akan tersaruk-saruk
semua ini akan membuat kita kembali duduk bercakap
lantas menyanyi bersama, ---boleh lagu sendiri ---
bergoyang bersama,--tak peduli seperti inul ---
maka, semua kecemasan itu
akan jadi lagu paling menyenangkan
bisa ditulis menjadi berbait-bait puisi

segala pesona itu akan jadi riang
akan kita tulis kembali jadi kitab dongengan
legenda cinta yang pantas diceritakan
pada semua tetangga yang kesemuanya akan tertawa lucu
teringat kembali cinta remajanya.

segalanya akan bisa dikenang!
Ngawi-surakarta, 2007


SURAT KESEKIAN
apakah yang bisa ditandai saat dunia berlari-lari
begini cepat
sebelum semuanya sempat mencatatnya,
segalanya telah melompat
segalanya jadi nisbi.masa lalu dan hiruk pikuk zaman global,
ketabuan dan keterbukaan diaduk dalam piring seng,
omong kosong dan kesungguhan jadi kitab primbon

-----bagaimana wajah anak-anak kita kelak?

fira, sebagai penyair yang hidup menjagai waktu
aku wajib bertanya, bagaimana wajah anak-anak kita kelak
di tengah-tengah simpang-siur kebohongan,
di tengah-tengah orang sibuk berganti-ganti topeng.
bagaimana wajah anak-anak kita nanti
saat sihir ekonomi menenung siapa saja dengan begitu menakutkan
dan aku tak tahu pasti, masihkah kelak puisi-puisi
bisa tetap menjaga nurani.

fira, isteriku, apakah kau pernah bertanya
apa arti kitab-kitab itu, pengetahuan-pengetahuan itu
bagi anak-anak kita
aku cemas mereka akan seperti socrates yang sendiri di rumahnya
sedang orang-orang lebih silau melihat uang dan jabatan
apakah kitab-kitab itu bisamenjadikannya lebih terhormat
sedang di sisi lain dasi dan mobil lebih pantas dihitung
dibanding otak dan nurani!


fira, kegamanganku ini bukan berarti ketakutan
seorang penyair tak akan pernah takut menatap zaman
kegamanganku hanyalah kesadaran untuk membuat kita waspada
teguh dalam sikap.
indonesia miskin ini barangkali bukan taman yang baik
bagi anak-anak kita, socrates-socrates muda kita.
namun, janganlah takut berdiam dalam kemiskinan
karena dalam bilik itu kelak akan kita lahirkan
pemimpi-pemimpi baru,
dan besok yang jauh, fira, kita akan melihat
anak-anak kita, socrates-socrates muda itu,
akan turut memberi tanda pada Indonesia yang berlari!

kado ultah istri,,2007

1 komentar: