Kamis, 29 November 2012

PUISI Temen



Bukankah kita berasal dari tanah gersang ?
Oleh : Riniintama

Kita berkelakar dalam kelebat bayang yang tak tampak,

lalu terkecoh pada duka lara dan amarah yang rumit
Sedang pikiran menghantui ruhruh dari bumi yang mati

Kita buka lembaranlembaran kertas tahun lalu
Segala paradigma melelehkan helaihelai makna
Melupa mata air kearifan dan hakikat rasa
Kemana perginya angin ?

Lalu di tepi rasamu yang sunyi
Kita eja baitbait puisi  yang memanusiakan manusia
merenungi barisbaris doa dengan energi tanpa batas
dan memimpikan oase di tengah panas membakar

Ketidakseimbangan itu berakhir bumerang
Karena jiwajiwa di rundung cemas yang usang
Atas cintacinta yang akan pergi menghilang

Bukankah kita bagian dari tanah gersang ?
Tetapi sesaat kemudian memusuhi maut yang siap menghadang

Februari 2011
Dalam buku “Gemulai Tarian Naz”


PADA GARIS BATAS TITIAN
Oleh : mahyutsan
Senja telah silam. Kenangan itu terurai kembali dan aku mematut sedih.
Segaris masa lalu membawa hati pada sebuah penghujung. Kebersamaan itu.
Cinta kita yang bersemayam dalam raga, terantuk pada keinginan tak seorang pun mau.
Perpisahan. Sayonara, katamu seraya membuang tatap dan aku terserang getir yang hebat.
Tak ingin ingin kudengar kata-kata itu. Akan tetapi, pada saat yang sama kau tak hendak
 meralat ucap. Aku menunggu harap-harap cemas waktu akan menulikan dengarku.
Betapa kini aku telah berdiri pada garis batas titian telah tampak ujungnya.

Ah, kenangan. Akan kubawa kemana sekelumit kisah yang membuatku mati suri? Sungguh
tak hendak kubawa kenangan itu dalam setia ayun langkahku. Biarlah menjauh mengikuti
jejakmu dalam samar cahaya. Tetapi itu tidak pernah terjadi. Seberapa ingin kuenyahkan
 selalu saja ia bangkit kembali dalam rupa membuat takut.  

Selasa, 27 November 2012

Dua Malam Bersamamu

DUA MALAM BERSAMAMU

kunikmati alurmu, kusut dan gelisah
sepi menambah kemurkaan
jalan berlubang bukan impian
requiem melayang-layang
mengitari ubun-ubun para pemoles
gelap malam.

senyum sesekali tersungging
mamaksa langkah
mengusung harapan pada peristiwa
kecemasan simbul kasih dan sayang
yang terlanjur menggurat
pada rautmu dan wajah malam

kau rebahkan gelisahmu
walau sejenak
telah ku temukan relief-relief
dalam rimba-rimba kesunyian malam

tikar yang menafsirkan air matamu
jaket basah selimut anganmu
doa-doa tak akan putus mengalir
dari bibirmu  -untuk dia yang diharapkan-

di malam ini
saatnya kita memahami raut sendiri
kocar-kacir dalam kaca pintu ICCU,
jalan-jalan kota, lampu stopan,
slogan-slogan, bahkan lantai lobi rumah sakit

:-menangislah nimas, lepaskan penatmu
rebahkan gelisahmu
akau selalu memelukmu, mendekapmu dan
mengeja abjad-abjad namamu dalam doaku.


Konk : Solo-Sukoharjo, Januari 2006

Kamis, 22 November 2012

Manusia Itu Manusiawi


Manusia itu Manusiawi....


Ditulis Oleh Sujiwo Tejo   
Selasa, 12 Juni 2012

   Manusiawi itu teriak-teriak antirokok tetapi maniak terhadap junk food yang sejatinya sama membunuhnya dengan rokok.
   
    Manusiawi itu selalu sibuk berpekik anti-Amrik tetapi rela antre sampai ke jalanan berjam-jam sejak subuh demi mendapat visa ke Paman Sam.
   
    Manusiawi itu memuja-muja kebersihan government Singapura dari korupsi walau tahu dari banyak desas-desus bahwa negeri itu adalah lumbung yang gemuk bagi duit para koruptor dari Indonesia.
   
    Pendeknya, manusiawi sering dikaitkan dengan seluruh yang bertolak belakang pada diri kita.
    Banyak pasangan yang berikrar saling setia, anti diduakan. Tetapi manakala salah satu pasangan itu benar-benar selingkuh malah semakin dicintai oleh pasangannya. Mungkin daya saing seseorang justru bangkit dan adrenalinnya naik ketika memergoki pasangannya nyeleweng
    Jelas-jelas kita pernah dijajah oleh Belanda. Namun tak sedikit sejawat kita di Tanah Air yang menggebu-gebu pegang Belanda pada Piala Eropa saat ini.
  
    Tak usah sewot. Tak usah terheran-heran. Karena yang seperti itulah yang malah manusiawi pada teman atau pacar kita.
  
    Di dalam wayang, Prabu Kresna sering kangen kepada Bima bukan karena Bima selalu menyanjung-nyanjung dan melayaninya. Kalau sudah lama tak bertemu, Raja Dwarawati itu selalu nggak nahan datang ke Amarta, tempat Bima, hanya karena rindu ledekan dan cemooh Bima kepadanya.
  
    Apakah manusiawi berarti tak konsisten?
  
    Mungkin tak sepenuhnya begitu. Setiap hari dijunjung dan diluhurkan, tak heran kalau Bima yang ceplas-ceplos meledek Kresna justru mendapat tempat khusus di hati titisan Wisnu itu. Cocok dan konsisten dengan hukum pemasaran bahwa yang unik yang akan dikenang.
  
    Konsisten pula dengan kenyataan bahwa setiap orang akan mengalami titik jenuh kalau hidupnya saban hari begitu-begitu saja. Maka banyak pasangan yang lebih intim setelah bertengkar termasuk cek-cok akibat penyelewengan.
      
    Sebenci-benci kita terhadap Amrik, harus diakui karya-karya orang Amrik termasuk film-filmnya memang bagus. Tak heran jika masih banyak orang pengin melancong ke tempat-tempat yang kerap disaksikannya dalam layar lebar Hollywood.
  
    Ini pun masih klop dengan ajaran untuk melihat sisi baik di antara sisi buruk segala hal. Apa salahnya tertarik pada sisi baik Amerika.
  
    Apa salahnya mencintai kaus oranye pada Piala Eropa, karena kalau tidak ada Belanda mungkin tak ada jalan raya Anyer-Panarukan, mungkin tak ada rel-rel kereta api.
  
    Apa pula salahnya tertarik pada sisi kebersihan dan kerapian Singapura walau mungkin kita sudah tahu borok-boroknya pada sisi lain.
  
    Akan halnya junk food, para maniak junk food berpendapat bahwa seburuk-buruknya junk food hanya merugikan diri sendiri. Rokok, asapnya, merugikan orang-orang di sekitar.
  
    Itulah yang dapat saya simpulkan dari Hari Anti Tembakau akhir bulan lalu.
  
    Tapi apa manusiawi pula jika perokok balik bertanya, junk food memang tak menimbulkan asap, tapi baunya dan tampilan orang-orang makan di dalam etalase kaca membuat orang-orang lain ngiler pengin mampir dan menyantapnya.

Rabu, 21 November 2012

MEDITASI DI ATAS KAKUS



MEDITASI DI ATAS KAKUS

Inilah musim untuk berdansa
Dengan irama simfoni purba
Seraya memaki diri sendiri
Bergelanyut dalam pekat gulita

:- ini bukan sepi, namun notasi tanpa simfoni.

Meditasi ini menawarkan sebuah narasi
Tentang sakramen perjumpaan
Dalam ruang waktu yang lalu,
Menawarkan pula tarian Luth
Serta kepingan purnama
Berserakan di tiap sudut mata angin.

:- ini bukan fragmen kehidupan, namun purnama yang miskram.

Meditasi ini adalah harapan yang memabukkan
pada cakrawala yang turun sia-sia,
pada onak mawar, pada pergumulan kepompong,
serta pada kesedrhanan asmara.

Meditasi ini bukan sekedar mimpi
Bukan pula keluh dan peluh
Adalah angkara yang membara
Berkobar di segenap aorta
Merasuk menembus kalbu
Mengiris-iris dengan sangkur
Yang ujungnya terus meruncing

:- katamu, harapan ini adalah mimpi.

Meditasi ini mirip dengan Bapa
Yang terlanjur memaknai arti Kuldi
Di dalam Firdaus yang Kudus
-       Lalu Muksa –

:- begitulah aku memamahimu.
Meditasi ini bukan sepi, tapi notasi tanpa simfoni.




Konk, Nopember 2012.

Sabtu, 17 November 2012

SENYAWA CINTA bag. 1



MEDITASIMU ADALAH KHUSUKKU

Meditasimu adalah khusukku
Dalam perjalanan panjang
Liku dan tejal
Gelap, sepi irama dzikir
Namun kumandangnya terus menggema
Di goa daun telinga.

Meditasimu adalah khusukku
Oase dalam kehampaan
Serta keterkutukan kalbu
Pad raut sendiri
Tampak jelas dalam cermin keramat,
Dinding-dinding kusam berlumut
Dan setiap peristiwa-peristiwa
Yang memabukkan

:- untuk kau ketahui ; sejarah terlah berbicara
Yang kuukir sendiri
Lewat bahasa yang aku pinjam darimu,
Lewat riwayat kepompong, bau alkohol
Dan kemunafikan.

Meditasimu adalah khusukku
Membawa pada jalan-jalan suci
Terang penuh cahaya, dan hiruk-pikuk
Mualim berorasi.

:- tapi aku tak temukan perempuan bugil
Menari di atas altar
Yang rambutnya tergurai, susunya bergerak naik turun
Tubuhnya penuh keringat, baunya harum
Dan terus berjingkrakan
Dengan irama musik (bar-bar) seperti bunda Vera.

Meditasimu adalah khususkku
Untuk aku terbang meraih bintang
-bukan orion-
Namun terang dan dalam kalbu gemerlap
Diresapi dengan mesra
Lewat bahasa yang pernah kau berikan.


Konk, Maret 2006









EPISODE RUANG TUNGGU


Kecemasan itu mengisyaratkan harapan
Pada mukjizat
Tentang hangatnya matahari
Saat lanskap masih sudi menyapa

Malam-malam semakin memuncak
Temukan keheningan yang sempurna
Jejak-jejak jadi lenyap. Seketika.
Aroma bius menyesakkan dada
Selang infus mengalirkan abjad-abjad
Nama malaikat

Sedih jadi muram
Air mata jadi darah
Puisi-puisi hanya sekedar notasi
Simponi dari orkestra yang panjang

Derap langkah menghilang
Ditelan kemurkaan pada penyesalan
Raut sendiri menggurat pada
Etalase-etalase apotek

Selembar resep menjilma simbul
Pada nisan-nisan yang kesepian
Mengkabarkan malam untuk lekas
Turun pelan-pelan tanpa mozaik cinta
Cerita yang terlanjur lusuh dan
Renungan purba.

Malaikat-malaikat telah meletakkan
Jubahnya
Menyelimuti setengah ruh
Melayang-layang di ruang tunggu
Dan air mata tumpah membanjiri
Harapan di segala arah angin

:- kapan kita memakai jubah itu
Sebagai selimut..?



Konk, Solo / Januari 2006









KALA KU PANDANG BINTANG


Udara malam ini bawaku dalam kehangatan
Yang sempurna
Tentang harum tubuhmu
Raut wajahmu dan belaian rindu

Wajahmu menyinari malam yang tinggal separuh
Bunyi bising binatang malam
Suguhkan perjamuan yang panjang
Lengkap dengan cumbu mesra
Di leher dan rahasia malam pertama

Kala ku pandang bintang
Hampir menjadi tarian purba
Mengajari tentang cara bercinta
Agar peluh jadi mutiara
Simbul perwaris memahami langkah sendiri

Suara alampun rela manyapa
Walau kadang sirna
Gemerlapnya hanya kiasan
Pada waktu yang terus congkak
Di setiap tunas-tunas harapan

:- di sana ada taman-taman indah
Mari luangkan waktu
Untuk sejenak bermesraan
Mengulang-ulang tentang arti
Sejarah yang karam oleh peradaban.




Konk, maret 2006


















05.00 AM

Gema adzan subuh pekakan telinga
Usik mimpi-mimpi yang tertunda
Alunannya lembut menyayat
Mengiris-iris sanubari
Yang kembara di awang-awang

Tubuh manusia gemetar
Jiwa melayang menggapai hari depan
Untuk bekal di baka
Yang konon hanya berpenghuni
Para petapa saja.

Isak tangis hanya kesia-siaan
Jiwa itu telah pergi
Menuju kubur
Dengan iringan abjad-abjad gaib

Gema tasbihpun terusik
Oleh khusuknya air mata
Hanya keranda rapuh
Yang dapat mengeja peristiwa ini
Lewat bahasa yang masih sama
“ inakillahi wa innalillahi roji’un”


Konk, Januari 2006


























KESUNYIAN, KEKASIHNKU



:- seperti apakah warna kesunyianmu...?

Kalimat nama yang akan
Kau rabahi sendiri
Tanpa atlas atau deretan
Abjad-abjad mantra.

Merabahi malam dalam gelapmu
Seperti sedadu, gemar mencumbui
Harum mesiu. Konon sanggup
Memberi warna-warna
Di tiap bendera-bendera kesepian.

Kesunyian, kusediakan altar
Untuk kau menari
Di dalam waktuku
Serta bangunlah kuil
Beserta para pendeta-pendetanya

:- kemana lagi aku mencarimu...?

Lewat debu, kesunyian kekasihku
Sepi akan irama dzikir atau
Sakaramen-sakaramen maut

Kekasih di tiap lelap
Dan dengkur
Dalam ranjang yang penuh
Cerita masa depan

:-  dengan bahasa apa, aku musti
menterjemahkannya....?

kesunyian, kekasihku
masih saja sama. Diam
di antara kubur
dengan nisan yang masih mengkilap
takut akan waktu sendiri.



Konk, Pebruari 2004








GELISAHMUPUN BERLABUH PADA SANUBARIKU


:-   ini bukan puisi cinta
Bukan pula orasi di tiap lelap malam.

Kelelahan yang panjang
Membawaku pada ruang waktu
Penuh dengan isak tangis dan harapan
Tentang cakrawala kala senja

Telah ku terjemahkan gelisahmu
Berlabuh dalam sanubariku
Menidurkanmu dalam kamar kosong
Mencoba bermimpi tentang matahari
Yang gontai

Telah kuurai arti candamu
Yang berabad-abad menggurat pada waktu
Lewat bahasa dalam gerimis
Yang saban hari
Menawarkan
Tarian zaman Luth

Gelisah yang berlabuh pada sanubariku
Mencakar-cakar kepasarahan
Atas segala keyakinan
Pada gerimis yang mengubur
Derap langkah sendiri

:-   ini bukan puisi cinta
     Bukan pula orasi di tiap lelap malam.







Konk, Januari 2006














SENYAWA CINTA


Persetubuhan ini begitu bara
Saat musim mengeja nama-nama kita
Kupu-kupu terus memperkosa bunga taman
Hingga putiknya rontok satu per satu

Selain sepi, gairah apa yang kau tawarkan lagi...?

Tubuh hampir meregang
Membiarkan jiwa-jiwa gontai
Menawarkan episode-episode baru
Di awal persetubuhan ini

Reinkarnasi tentang perulangan-perulangan dzikir
Menjadi relief abadi
Terpahat sangat rapi dalam dinding istana
     -bukan milik Sulaiman-
Namun kelak pewaris merunutnya kembali

Kita terlalu sibuj mengejar matahari
Mareka-reka arah angin
Menangisi setiap peristiwa dan mengeluhkan
Setiap kesah di tiap perjumpaan

Ini adalah musim untuk bercinta
Mari kita bersimpuh dalam
Ranjang para Darwis
Agar kelak bukan fatamorgana cita-cita
Yang kita depap
Bukan pula sejarah Bapa
Namun arti sebuah reaksi
Dari dua tubuh bugil
Lantas menjilma
        -senyawa cinta-







Konk, Maret 2006











BELAJAR MENERKA



:-   jika kau dengar bisikku
     kau tak akan pergi
     jika kau rasakan keluh kesahku
     kau akan di sisiku
     jika kau mampu menterjemahkan artiku
     kau akan jatuh cinta padaku


lihatlah, kibasan sayap merpati
bayang-bayangnya menyentuh wajah kita
mengecap dengan tinta darah
sebuah aksara purba :-cinta-

lihatlah pula, tubuh yang gontai
mencoba menyibak tabir
di pusara sendiri
sambil memungut setiap kata-kata
yang pecah oleh arti peristiwa

aku sedang belajar menerka
bisikan padaku semangatmu
jangan gontai hanya karena duka
tersenyumlah untuk masa depan
raih angan dan cinta
sebut segala bahasa
walau dengan dzikir yang panjang.





Konk, Maret 2006