EPIGON
*) pada sajak culas
Para pembelot logika bertopeng animous pamer bacot
berebut roti busuk dalam got pinggiran kota
meringis menahan peluh sambil merobek bendera pluralisme berwarna darah
seperti hierarki diktator kelamin yang terenggut oleh treponema
pallidum
mendadak
menjilma sisifus yang menawarkan absurdnya pada filsafat sunyi
Jelaga
abu menutup pekat jalanan ruang hampa
terselubung
sebuah manuskrip imitasi dari langit
seribu
malaikat memburu setiap abjad-abjadnya sambil membawa gada moyang Arya
Anantasena
dengan beringas melibas setiap manifestasi pancaroba harapan
: seperti mayat tanpa kafan
Adalah jemawa opini pada kanvas jingga saban senjakala
mengutuk siulan muadzin mengajak bersujud menekuk lutut berbalur
kenistaan
menterjemahkan semiotika asing dan berpura-pura paham akan arti yaumul
jaza
seperti kertas karbon yang selalu mengecap lidah musyafir dengan
stempel kafir bertinta darah
memaksa menjadi penganut hegemoni kultural yang terlajur merasuk hingga
aorta para pemabok sastra
Bukan lagi sebuah vandalisme yang menyayat relief dengan lidah api
bercabang dan menjulur penuh liur berbisa
yang menetes serupa tuba selaksa bah yang mengenangi segala tunas
harapan
namun serupa denosida dengan martil plagiat para pembacot puisi-puisi
cinta
untuk dijadikan komoditas pada setiap aksaranya
yang menembus urat nadi sastrawan imitasi dengan culasnya tentang diksi
dan juga rima
epigon adalah manuskrip yang bertebaran di surat-surat kabar
memuntahkan residu soneta dan gurindam milik para penjilat majas
menjadikannya retorika mesum beroaroma selangkangan bidadari puisi
: ini, sajak representasi jelaga
darah tentang pembangkangan opini
Benk, 8 Oktober 2014
(kidul argo gamping)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar