Rabu, 08 Oktober 2014



EPIGON
*) pada sajak culas

Para pembelot logika bertopeng animous pamer bacot
berebut roti busuk dalam got pinggiran kota
meringis menahan peluh sambil merobek bendera pluralisme berwarna darah
seperti hierarki diktator kelamin yang terenggut oleh treponema pallidum
mendadak menjilma sisifus yang menawarkan absurdnya pada filsafat sunyi

Jelaga abu menutup pekat jalanan ruang hampa
terselubung sebuah manuskrip imitasi dari langit
seribu malaikat memburu setiap abjad-abjadnya sambil membawa gada moyang Arya Anantasena
dengan beringas melibas setiap manifestasi pancaroba harapan
: seperti mayat tanpa kafan

Adalah jemawa opini pada kanvas jingga saban senjakala
mengutuk siulan muadzin mengajak bersujud menekuk lutut berbalur kenistaan
menterjemahkan semiotika asing dan berpura-pura paham akan arti yaumul jaza
seperti kertas karbon yang selalu mengecap lidah musyafir dengan stempel kafir bertinta darah
memaksa menjadi penganut hegemoni kultural yang terlajur merasuk hingga aorta para pemabok sastra

Bukan lagi sebuah vandalisme yang menyayat relief dengan lidah api
bercabang dan menjulur penuh liur berbisa
yang menetes serupa tuba selaksa bah yang mengenangi segala tunas harapan
namun serupa denosida dengan martil plagiat para pembacot puisi-puisi cinta
untuk dijadikan komoditas pada setiap aksaranya
yang menembus urat nadi sastrawan imitasi dengan culasnya tentang diksi dan juga rima

epigon adalah manuskrip yang bertebaran di surat-surat kabar
memuntahkan residu soneta dan gurindam milik para penjilat majas
menjadikannya retorika mesum beroaroma selangkangan bidadari puisi

: ini, sajak  representasi jelaga darah tentang pembangkangan opini



Benk, 8 Oktober 2014
(kidul argo gamping)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar