PENYAIR MRONGOS DI HALAMAN PENERBIT
dia tertegun di bawah tiang spanduk merah bertuliskan kampanye anti homoseks
kepalanya pening, helaan nafas mengadu matahari dengan hawa di sisinya
dia lupa, satu kosa kata tertinggal di celana dalam putih milik Siti
dia lupa, jika tadi malam Siti mendesah di atas kasur bersprai abu-abu
menggigit genit bibirnya dengan lidah berbisa
peluhnya menggenangi setiap sudut ruang
aroma tubuhnya memaksa penyair menelan separuh ruh di kerongkongan
cleguk... cleguk... cleguk...
aacchhh... air ketuban penyair pecah
meluber di segenap mimpi hingga ujung gelap
dia tertegun, mengingat-ingat kosa kata yang terselip di celana dalam Siti
kosa kata yang hendaknya di halaman kata pengantar
atau mungkin di halaman biografi
dia masih saja tertegun
sementara Siti telah berganti sprai
berganti pula warna gincunya
mungkin, kosa kata itu sudah terkoyak oleh penyair lain
-Siti pun masa bobo-
di halaman penerbit, di bawah spanduk merah
tertegun dan lesu sambil memukul kepalanya dengan segenggam buku ideologi
tiada umpatan, hanya helaan nafas
setelah editor meludahi naskahnya
Benk, 10.15
KAG
*) bayi konstitusi
kau sembunyikan mentimun dalam kutangmu
beranak tanpa dukun
bunting tanpa kawin
Benk,9.15
KAG
ini tentang cinta
adalah nol
tanpa metafora
tiada hierarki ataupun riwayat dan hikayat
: ini tentang cinta
adalah nol
Benk, 9.16
KAG
cangkruk'an deket WC umum
*) Trilogi Obsesi
1.
apa kabar dunia ?
lihatlah, matahari tersenyum mengusung segumpal riwayat Hobbes dan juga seribu filsuf Jenar
membakar kerontang dahaga kutang para perindu liang syahwat
pada ubun-ubun yang penuh orasi-orasi penipuan asas keadilan
2.
apa kabar cinta ?
lihatlah, rindu yang terlanjur menjelma kemunafikan musim
berkarat dan berkerak pada ujung kata
tiada pernah menuai konsepsi air mata
-menunggu dikoyak mimpi-
3.
apa kabar puisi ?
lihatlah manuskrip-manuskrip binal menempel di dinding musim
-bukan relief ataupun grafiti-
mengusung jelaga doktrin ketiadaan adalah bernyawa
bunting diksi, phobia majas, miskram makna.
Benk, 9.15
KAG
lihatlah, suara subuh bertamu di beranda kita
mari sekolah nak, sebelum seragammu dibakar matahari
Benk, 9.15
KAG
DENOSIDA KELAMIN
*) Prerogatif Tengik
Sabda liar berbuih
angkara
Menjerat langkah di
ujung duka
Bacot menghitam
jelaga neraka
Busuk menganga pada
setiap jiwa
Pembantaian doa-doa
menjelma viral pada kiblat baru
Riwayat hierarki Bapa
gugur terhempas puisi-puisi bisu
Dedaunannya mengeja
setiap nama pewaris yang terbelenggu ragu
Asa pada orgasme
membuncah di segenap ubun-ubun
Merindu desah
mengukir surga sanubari
Airnya memantulkan
kuldi yang menggantung layu -hilang ereksi-
Impotensi selayak
gedibal marjinal
Tak ada makna, tak
ada kata dan juga biografi patriot menghunus bayonet dengan selendang Srikandi
Musnah ditelan
parodi-parodi politik parlemen pada sebuah kekhawatiran estimasi atas hasil
spekulasi denosida anak negeri
Kenyataannya, opini
dedikasi hanyalah simbol loyalitas atas penguasa yang berkiblat pada komoditi
tirani yang legawa mendistorsi historis Garuda Pancasila menjadi fabel legenda
sebagai racun tidur para pewaris saban malam menghakimi jumawa kitab
undang-undang pemilihan nasib rakyat
Wahai pemilik sabda
berbuih angkara yang menjerat langkah pada ruang duka, adakah bacotmu masih
saja menghitam jelaga neraka? Sementara tengik yang engkau cipta lewat
tarian-tarian fasis dan orasi-orasi busuk adalah denosida hasrat barisan
impotensi dan juga kelayakan opini kemerdekaan nurani.
; adalah hegemoni
atas prerogatif takdir.
Benk, 9.2016
Kidul Argo Gamping
; cangkruk'an deket
WC umum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar