Senin, 03 Oktober 2016



PENYAIR MRONGOS DI HALAMAN PENERBIT
dia tertegun di bawah tiang spanduk merah bertuliskan kampanye anti homoseks
kepalanya pening, helaan nafas mengadu matahari dengan hawa di sisinya
dia lupa, satu kosa kata tertinggal di celana dalam putih milik Siti
dia lupa, jika tadi malam Siti mendesah di atas kasur bersprai abu-abu
menggigit genit bibirnya dengan lidah berbisa
peluhnya menggenangi setiap sudut ruang
aroma tubuhnya memaksa penyair menelan separuh ruh di kerongkongan
cleguk... cleguk... cleguk...
aacchhh... air ketuban penyair pecah
meluber di segenap mimpi hingga ujung gelap
dia tertegun, mengingat-ingat kosa kata yang terselip di celana dalam Siti
kosa kata yang hendaknya di halaman kata pengantar
atau mungkin di halaman biografi
dia masih saja tertegun
sementara Siti telah berganti sprai
berganti pula warna gincunya
mungkin, kosa kata itu sudah terkoyak oleh penyair lain
-Siti pun masa bobo-
di halaman penerbit, di bawah spanduk merah
tertegun dan lesu sambil memukul kepalanya dengan segenggam buku ideologi
tiada umpatan, hanya helaan nafas
setelah editor meludahi naskahnya
Benk, 10.15
KAG



JANDA BERANAK
*) bayi konstitusi
kau sembunyikan mentimun dalam kutangmu
beranak tanpa dukun
bunting tanpa kawin
Benk,9.15
KAG



KARENA AKU CINTA
ini tentang cinta
adalah nol
tanpa metafora
tiada hierarki ataupun riwayat dan hikayat
: ini tentang cinta
adalah nol
Benk, 9.16
KAG
cangkruk'an deket WC umum



APA KABAR DUNIA, CINTA, DAN PUISI
*) Trilogi Obsesi
1.
apa kabar dunia ?
lihatlah, matahari tersenyum mengusung segumpal riwayat Hobbes dan juga seribu filsuf Jenar
membakar kerontang dahaga kutang para perindu liang syahwat
pada ubun-ubun yang penuh orasi-orasi penipuan asas keadilan
2.
apa kabar cinta ?
lihatlah, rindu yang terlanjur menjelma kemunafikan musim
berkarat dan berkerak pada ujung kata
tiada pernah menuai konsepsi air mata
-menunggu dikoyak mimpi-
3.
apa kabar puisi ?
lihatlah manuskrip-manuskrip binal menempel di dinding musim
-bukan relief ataupun grafiti-
mengusung jelaga doktrin ketiadaan adalah bernyawa
bunting diksi, phobia majas, miskram makna.
Benk, 9.15
KAG



SEBENTAR LAGI PAGI

lihatlah, suara subuh bertamu di beranda kita
mari sekolah nak, sebelum seragammu dibakar matahari
Benk, 9.15
KAG




DENOSIDA KELAMIN
*) Prerogatif Tengik

Sabda liar berbuih angkara
Menjerat langkah di ujung duka
Bacot menghitam jelaga neraka
Busuk menganga pada setiap jiwa

Pembantaian doa-doa menjelma viral pada kiblat baru
Riwayat hierarki Bapa gugur terhempas puisi-puisi bisu
Dedaunannya mengeja setiap nama pewaris yang terbelenggu ragu

Asa pada orgasme membuncah di segenap ubun-ubun
Merindu desah mengukir surga sanubari
Airnya memantulkan kuldi yang menggantung layu -hilang ereksi-
Impotensi selayak gedibal marjinal
Tak ada makna, tak ada kata dan juga biografi patriot menghunus bayonet dengan selendang Srikandi
Musnah ditelan parodi-parodi politik parlemen pada sebuah kekhawatiran estimasi atas hasil spekulasi denosida anak negeri

Kenyataannya, opini dedikasi hanyalah simbol loyalitas atas penguasa yang berkiblat pada komoditi tirani yang legawa mendistorsi historis Garuda Pancasila menjadi fabel legenda sebagai racun tidur para pewaris saban malam menghakimi jumawa kitab undang-undang pemilihan nasib rakyat

Wahai pemilik sabda berbuih angkara yang menjerat langkah pada ruang duka, adakah bacotmu masih saja menghitam jelaga neraka? Sementara tengik yang engkau cipta lewat tarian-tarian fasis dan orasi-orasi busuk adalah denosida hasrat barisan impotensi dan juga kelayakan opini kemerdekaan nurani.

; adalah hegemoni atas prerogatif takdir.


Benk, 9.2016
Kidul Argo Gamping
; cangkruk'an deket WC umum

Rabu, 08 Oktober 2014



EPIGON
*) pada sajak culas

Para pembelot logika bertopeng animous pamer bacot
berebut roti busuk dalam got pinggiran kota
meringis menahan peluh sambil merobek bendera pluralisme berwarna darah
seperti hierarki diktator kelamin yang terenggut oleh treponema pallidum
mendadak menjilma sisifus yang menawarkan absurdnya pada filsafat sunyi

Jelaga abu menutup pekat jalanan ruang hampa
terselubung sebuah manuskrip imitasi dari langit
seribu malaikat memburu setiap abjad-abjadnya sambil membawa gada moyang Arya Anantasena
dengan beringas melibas setiap manifestasi pancaroba harapan
: seperti mayat tanpa kafan

Adalah jemawa opini pada kanvas jingga saban senjakala
mengutuk siulan muadzin mengajak bersujud menekuk lutut berbalur kenistaan
menterjemahkan semiotika asing dan berpura-pura paham akan arti yaumul jaza
seperti kertas karbon yang selalu mengecap lidah musyafir dengan stempel kafir bertinta darah
memaksa menjadi penganut hegemoni kultural yang terlajur merasuk hingga aorta para pemabok sastra

Bukan lagi sebuah vandalisme yang menyayat relief dengan lidah api
bercabang dan menjulur penuh liur berbisa
yang menetes serupa tuba selaksa bah yang mengenangi segala tunas harapan
namun serupa denosida dengan martil plagiat para pembacot puisi-puisi cinta
untuk dijadikan komoditas pada setiap aksaranya
yang menembus urat nadi sastrawan imitasi dengan culasnya tentang diksi dan juga rima

epigon adalah manuskrip yang bertebaran di surat-surat kabar
memuntahkan residu soneta dan gurindam milik para penjilat majas
menjadikannya retorika mesum beroaroma selangkangan bidadari puisi

: ini, sajak  representasi jelaga darah tentang pembangkangan opini



Benk, 8 Oktober 2014
(kidul argo gamping)

Selasa, 30 September 2014

KOPI HITAM (7)
*) dermaga tanpa mercusuar

Pada sebuah rasa
waktu yang mengurung logika
saban detik mengumandangkan gelisah
mendesah resah dalam puing asmara

Terhunus sudah biasmu dari belukar cinta
mencoba menerangi jiwa-jiwa yang luka pada gelap
cinta menjilma keangkuhan langkah
meski gontai dan mabok arah

Inilah aku, dermaga hilang perahu
muksa mercusuar
sepi memeluk gigil sunyi
kembali tunduk saat dzikir mengalun sendu

: aku lunglai dalam persimpangan asmara


Benk, 23.9.14
(kidul argo gamping)

Kopi hitam : seduhan ikhlas yang selalu menemaniku dalam segala rasa.



KOPI HITAM (6)
*) elegi sanubari

Tersudut oleh waktu
terluka oleh asa
terbelunggu rindu
tersesat dalam rasa

Entah, hitam menjilma kelabu
atau buta arah pada langkah yang tersisa
waktu tak sudi berpihak
berkhianat dan lupa aroma mawar

: aku merindumu dalam pelukan sunyi


Benk, 22.9.14
(kidul argo gamping)


KOPI HITAM  (5)
*) maaf Nimas

Pagi ini, kau suguhkan seduhan puisi kematian
dengan racikan air mata dan juga luka
memaksa aku menenggak air matamu yang beraroma binal
hingga merasuk ke segala aortaku

Ikrar yang konon sanggup meramu keindahan
menjilma lengkingan caci maki pada seongkok jasad
yang tercabik belatung durjana

: kopi hitam pengantar menuju kubur sunyi

Benk, 20.9.14
(kidul argo gamping)