Minggu, 16 Desember 2012

puisi untuk puisi



SAJAK HITAM UNTUKMU
                                             Kepada : Kawanku

: -    teriaklah  !
       Selagi hijaunya daun masih bisa engkau sentuh.
       Murkalah  !
       Selagi nafasmu masih berhembus .
       Menangislah  !
       Selagi air mata bukan darah.
       Tunduklah  !
       Selagi sajadah masih mewangi.

Perulangan demi perulangan masih kau sesali
Sembari kau kutuk dirimu
Meskii hanya abu nafas
Tapi surga tak sudi berpihak

Matahari telah ke puncak
Mengusung gelisah yang panjang
Burung-burung enggan kepakkan dayap
Tanah menunggu parade penggali kubur
Lolongan srigala bersahutan
Dari lembah yang kehilangan jurangnya

Lihatlah. Bumi sudah terlanjur bunting
Janin harapan terus menggeliat
Mencoba menerka arah angin
Yang tak kunjung juga kau menafsirkannya

Kibaskan belukar di depanmu
Melangkahlah
Tanpa acuhkan jejak-jejakmu
Agar kelak malam menghampirimu
Mengajakmu menari-nari dengan
Perempuan bugil seribu birahi
Lantas hanya namamu yang terpahat
di prasasti kubur
untuk perwaris agar mampu
menafsirkan keterkutukanmu.



Konk, Maret 2006


MONOLOG PADA SANUBARI

Dalam kesahajaan ku pinjam bahasa sanubari
yang terukir dalam relung waktu
mencipta sebuah ruang gelap
berharap pada tunas-tunas mimpi
akan gelak tawa yang merajut kasih
pada sebuah jejak purba –bukan moyang Adam-

Dalam kesahajaan kucoba mencipta warna cakrawala
serta arah angin yang gontai oleh peradaban
matahari yang bunting oleh cinta dan birahi
menjadi sebuah teka-teki tanpa jawab yang pasti

dalam kesahajaan tlah ku pinjam bahasa cinta
konon mampu menafsirkan indahnya birahi,
gemulainya memabukkan selaksa vodca dingin
yang saban hari menyanyikan lagu masa depan.

Dalam kesahajaan ku pinta dengan bahasa yang masih sama
pada gerai rambutmu,
pada senyum dan tawamu,
adalah kasih yang wangi.



Konk, Desember 2012


AKU MUSNAH

tanpa apa aku datang padamu    -(kata sutardji)-

lantas patahan kata itu terus mengiang di gua daun telinga
menjalar menggurat pada kalbu
menggoreskan jejak yang dalam dan bunting
menjerat aortaku pada ujung nadi
dan menjadikannya tiada

aku hanya patahan kata dari puisi yang terbuang
menjadi berkeping lebur dan sirna
menjilma jelaga atas bara yang mengaga
musnah dan lenyap dalam pelukkan sang bayu
tanpa air mata dan reinkarnasi



Konk, Desember 2012

Minggu, 09 Desember 2012

puisi DALAM MALAMMU



DALAM MALAMMU

Dalam malamu aku terhunus
oleh waktu yang meruncing
menusuk muka langit hingga cakrawala pecah berkeping
menyebar di setiap sudut waktu
lantas menjadikannya keheningan yang baka

Dalam malammu aku tersesat
menyibak rimba belukar
merabahi jejak yang bunting oleh peradaban
menggores kening sendiri dengan tinda darah
bernama “kesunyian

Dalam malammu aku berdansa
selaksa simfoni alam mengalun meronta
menawarkan firdaus dalam segelas vodca
konon ini pesta para “bar-bar” di pertengahan abad

Dalam malammu aku menerka arah angin
lantas aku mengeja adjad mantra purba
simbol kubur sunyi, tanpa mozaik percintaan

Dalam malammu aku tertunduk
mencium tanah rengkah
dan menafsirkan “aku akan kembali


Konk, -Desember 2012-